Jumat, 25 Februari 2011

Dari Pelabuhan ke Musium

DUA orang turis perempuan dari Belanda berjalan dengan santai di siang terik di Pelabuhan Sunda Kelapa, Kamis (10/2/2011). Beberapa kali mereka memerhatikan para buruh angkut yang sedang mengangkut karung semen dari truk ke kapal kayu. Para buruh tidak takut jatuh meniti balok kayu yang hanya berukuran satu telapak kaki saja.
Berjalan-jalan di kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa memang mengasyikkan. Pengunjung seolah-olah tak hanya menikmati pelabuhan, tapi seperti dibawa ke perjalanan waktu kembali ke masa lampau.

Kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa memang sarat akan sejarah kota Jakarta. Kawasan ini menjadi salah satu destinasi wisata sejarah yang sedang dipromosikan oleh Pemerintah Kota Jakarta Utara. Jakarta Utara sendiri memiliki 12 destinasi wisata, baik sejarah, kuliner, religi, maupun budaya.
Pelabuhan Sunda Kelapa sendiri telah ditetapkan sebagai bagian dari kawasan Kota Tua, yang merupakan peninggalan sejarah kolonial yang ada di Jakarta. Tidak heran, begitu sampai di kawasan bangunan-bangunan tua pun terlihat di beberapa sudut kawasan. Ada yang masih terpelihara bagus, ada juga yang rusak termakan usia.
Pelabuhan ini merupakan pelabuhan paling ramai pada abad ke-12. Pelabuhan yang menjadi bagian dari Kerajaan Sunda, yang beribu kota di Pakuan Pajajaran (kini menjadi Kota Bogor), menjadi pintu masuk bagi penyebaran agama Islam dan para penjelajah dari Eropa.

Kini pelabuhan ini menjadi pelabuhan antarpulau yang melayani perahu-perahu berukuran sedang yang membawa hasil bumi dan kebutuhan lain. Setiap hari ada kesibukan bongkar muat di sana.
Deretan perahu kayu antarpulau itu sangat cantik terlihat. Dengan warna-warni yang sangat cerah, perahu-perahu itu mewarnai pelabuhan yang tampak tua dan panas itu. ”Perahu-perahu ini cantik. Beberapa kali saya mengambil fotonya,” kata Danielle (34), salah seorang turis asal Belanda itu.
Selain mengambil foto kapal, beberapa kali Danielle bergantian dengan temannya, Margareth, berpose untuk difoto. Menurut mereka, Pelabuhan Sunda Kelapa menjadi salah satu tujuan yang harus didatangi karena menjadi bagian dari Kota Tua. ”Mengunjungi kawasan Kota Tua seperti mendatangi rumah sendiri. Terasa sangat akrab karena arsitekturnya seperti di Belanda pada masa lampau,” tambah Danielle.

Museum Bahari
Romantisme masa lalu makin terasa kental ketika mengunjungi Museum Bahari dan menara syahbandar yang letaknya tidak jauh dari pintu masuk Pelabuhan Sunda Kelapa.
Museum Bahari memamerkan berbagai benda peninggalan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) Belanda pada zaman dahulu dalam bentuk model atau replika kecil, foto, lukisan, serta berbagai model perahu tradisional, perahu asli, alat navigasi, kepelabuhan, serta benda lainnya yang berhubungan dengan kebaharian Indonesia. Museum ini mencoba menggambarkan kepada para pengunjung mengenai tradisi melaut nenek moyang Bangsa Indonesia dan juga pentingnya laut bagi perekonomian Bangsa Indonesia dari dulu hingga kini.

Berbagai model kapal penangkap ikan dari berbagai pelosok Indonesia dipamerkan di museum ini, termasuk juga jangkar batu dari beberapa tempat, mesin uap modern dan juga kapal pinisi (kapal pinisi Nusantara) dari suku Bugis (Sulawesi Selatan) yang kini menjadi salah satu kapal layar terkenal di dunia.
Dari ketinggian menara syahbandar yang terletak di sebelah Museum Bahari, deretan kapal cantik yang bersandar di Pelabuhan Sunda Kelapa tampak jelas terlihat. Selain itu, di sisi sebaliknya dari menara yang sudah miring itu, berdiri gedung galangan VOC, yang kini beralih fungsi menjadi restoran galeri.
Galangan kapal ini telah beroperasi sejak 1632. Galangan berdiri di atas tanah urukan di tepi barat Kali Besar saat Ciliwung diluruskan dari Pintu Kecil sampai Pasar Ikan.

Awalnya, galangan kapal yang terletak di Jalan Kakap Nomor 1, Pasar Ikan, ini adalah sebuah kantor dagang VOC yang didirikan tahun 1628. Bangunan itu lalu dijadikan gudang barang keperluan galangan kapal yang ada di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu. Galangan kapal VOC di Sunda Kelapa sempat menjadi urat nadi jaringan niaga selama dua abad. Jaringan niaga cukup jauh terentang, yakni dari Pulau Decima di Nagasaki, Jepang, sampai Cape Town, Afrika Selatan. Dari Ternate sampai Bandar Surat di Pantai Teluk Arab. (Windoro Adi/ M Clara Wresti)
http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1291235534764612760

Tidak ada komentar:

Posting Komentar