Selasa, 15 November 2011

SEMALAM DI BELITUNG / BALITONG (BALI TERPOTONG)

29-30 Oktober, 2011


Lima belas menit sebelum pesawat yang kami naiki mendarat di bandar udara tujuan, aku melepaskan semua rasa penasaranku yang tidak tertahankan pada daratan yang terbentang di bawah. Landai berwarna hijau dengan gradasi yang menyegarkan penglihatan, sementara di beberapa tempat berwarna putih kebiru-biruan. Aku mengira-ngira mungkin itu lubang-lubang bekas penggalian tambang yang telah ditinggalkan sebagaimana cerita-cerita yang kudengar selama ini dan sekarang lebih dikenal dengan nama danau kaolin.


Aku tegakkan kembali posisi dudukku saat sang pilot memberitahu bahwa pesawat pada posisi siap mendarat. Kulirik Nove yang untuk kali pertama ngetrip bersama kami. Ia masih tenggelam dalam musik yang didengarnya lewat earphone. Ia sangat bergantung pada benda tersebut untuk mengurangi efek dengung di telinganya. Sebaliknya Maria sibuk mencari pramugari guna memesan lampu pengganti lilin, yang dirasa olehnya sangat berguna saat berkemah nanti. Walau masing-masing dari kami sudah membawa lampu senter, Ia tetap kekeh untuk membeli lampu tersebut. Sementara itu Dektina yang duduk terpisah dari kami bertiga menemukan teman mengobrol selama perjalanan.


Sedikit terlambat dari jadwal, kami tiba di bandar udara H. As. Hanandjoedin Tanjung Pandan. Setelah mengambil barang-barang dari bagasi, buru-buru kami menjumpai seorang teman yang sudah menanti. Hari yang merupakan putra daerah Belitung akan menjadi tour guide kami. Segera kami berempat digiring ke halaman parkir dimana mobil yang kami sewa seharga Rp. 250.000,- per hari (note: harga tersebut belum termasuk sopir) telah siap mengantar berkeliling.


Mobil yang kami kendarai meluncur dengan lancar di jalanan kota yang terlihat sepi bila dibading Jakarta tentunya. Setelah melewati beberapa perempatan, kami tiba di kedai Telapak untuk menjemput Iqbal yang datang ke Belitung sehari sebelumnya  dan 3 orang teman Belitung lainnya Dita, Ramses, Alfa yang akan bergabung dengan kami.       Sementara yang lain mempersiapkan berbagai hal berikut menata barang-barang bawaan ke dalam mobil, aku dan Nove berjalan ke arah Rumah Adat Belitung yang tidak jauh dari kedai Telapak. Keberadaan Rumah Adat Belitung sendiri masih relatif baru, hal ini  terlihat pada batu peresmiaannya tertanggal 30 Juni 2009.

Tertarik dengan ornamen yang ada, kami terusik ingin tahu lebih banyak, akan tetapi baru saja kami hendak membuka sepatu untuk memasuki rumah adat, suara klakson mobil yang berisi teman-teman kami sudah menanti di seberang jalan. Menyadari waktu yang terbatas, aku dan Nove segera bergegas menjumpai mereka. Tapi andaikata rekan-rekan sempat berkunjung ke Rumah Adat Belitung, sempatkanlah masuk dan mencoba memakai pakaian adat yang ada, lalu bergaya ala orang melayu dengan rumah panggungnya. Pasti keren!!!


Mobil meluncur diatas jalan aspal yang mulus menuju tujuan pertama  yakni sungai Batu Mentas di desa Kelekak Datuk kecamatan Badau. Setelah +/- 30 menit mobil berbelok memasuki jalan beraspal tipis dimana di sebelah kanan terhampar kebun nanas sedangkan di sebelah kiri pohon-pohon lada berdaun hijau muda berderet-deret rapi, persis di ujung jalan aspal mobil berhenti. Kami segera turun dan membawa perlengkapan seperlunya. Selanjutnya untuk menuju lokasi harus ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 15 menit sedikit mendaki di jalan tanah merah yang bertabur bulir-bulir kerikil berwarna putih susu. Selain kebun nanas dan lada, di lokasi ini juga terdapat budidaya lebah madu.


Tiba di lokasi Batu Mentas, Ramses, Alfa dan Iqbal menuju ke arah hulu dimana terdapat batu pipih yang menghalang aliran sungai. Disitu mereka berganti pakaian dan langsung menjeburkan diri ke dalam air. Sementara Dita diikuti Dektina, Maria dan Aku menyusur aliran sungai ke arah hilir, dimana terdapat terjunan air yang sering digunakan foto untuk acara pre-wedding. Sedang Nove yang menolak untuk mandi, duduk dengan santai diatas batu gunung berwarna gelap yang mencuat diantara aliran air sungai yang jernih. Dan sang fotografer ‘Hari’ berpindah-pindah guna membidik setiap aksi kami.      
    
12:25 Wib kami bertolak dari Batu Mentas menuju pantai Tanjung Tinggi yang merupakan tempat syuting film ‘Laskar Pelangi’ yang diangkat dari novel berjudul sama karya ‘Andrea Hirata’. Kira-kira satu jam setengah kami baru tiba di pantai berpasir putih yang lembut dengan laut berwarna biru kehijau-hijauan. Keindahan alam memang sangat memikat tapi alarm dari perut kami sudah memberi tanda dari dua jam yang lalu minta diisi.


Kami bersembilan menuju ke salah satu warung makan yang ada di sepanjang pantai. Setelah memesan dan menunggu dengan teramat sabar, ikan bakar dan tumis kangkung keluar dengan aroma yang menggoda, lalu disusul dengan sajian khusus khas Belitung ‘Gangan’ yakni ikan ketarap yang dibumbui kunyit, cabe dan potongan nanas.


Setelah tenaga kami pulih, kami segera menyusuri pantai Tanjung Tinggi, bermain dengan deburan ombaknya, dan berfoto diatara batu-batu granit berukuran raksasa. Andai waktu tidak membatasi, tentu kami kian terlena oleh kecantikan alam yang terhampar di depan mata.

16:00 Wib kami memutuskan segera berkemas dan menuju pantai Tanjung Kelayang. Pantai Tanjung Tinggi dan pantai Tanjung Kelayang hanya berjarak tempuh sekitar 15 menit dengan kendaraan bermotor. Di pantai ini kami menghabiskan sunset sambil bersiap-siap yakni memindahkan barang-barang dan perbekalan ke atas perahu yang akan membawa kami ke pulau Kepayang (pulau Babi).

Bersama lungsurnya cahaya matahari ke tempat istirahatnya, perahu yang kami naiki bertolak dari pantai Tanjung Kelayang. Harga sewa perahu kami Rp. 350.000,- dengan kapasitas penumpang maksimal 20 orang. Walau saat itu musim alun (ombak) sebagaimana dijelaskan oleh tukang perahu, kami bersyukur selama pelayaran laut relatif tenang dan setelah sepuluh menit berlayar kami tiba di pulau Kepayang.

Mengikuti petunjuk Ramses, kami mengambil sejumput pasir saat kaki kami menjejak di bibir pulau dan berdoa sesuai kepercayaan masing-masing agar tidak mendapat gangguan selama berada di pulau tersebut. Dita yang tidak ikut camping kembali ke Tanjung Kelayang bersama perahu yang membawa kami. Selanjutnya kami berdelapan berjalan beriringan menembus ilalang dan bayangan pohon-pohon yang merunduk menuju gelap. Kami berjalan tanpa suara, hanya langkah kaki dan dengus nafas kami yang memburu bersama siulan angin pantai. Kami baru berkata-kata ketika telah tiba dan berada di kawasan camping.

Sementara yang lain istirahat aku bersama Hari dan Ramses berkeliling mencari tempat yang pas untuk mendirikan tenda. Tapi apabila tidak mau susah membawa kantong tidur dan matras sendiri  seperti kami, di pulau Kepayang terdapat Bungalow yang disewakan seharga Rp. 350.000,- dan Cottage Rp. 250.000,- dengan fasilitas makan pagi untuk 2 orang, jika butuh extra bed dikenai tambahan biaya Rp. 50.000,- sudah termasuk makan pagi. Juga terdapat Barak yang mampu menampung 10 orang dengan biaya Rp. 60.000,- per orang sudah termasuk sarapan pagi.

Begitu tenda berdiri, Iqbal segera mengatur matras dan kantong tidur para perempuan. Para pria tidur di luar tenda untuk berjaga-jaga.  Selanjutnya secara bergantian kami membersihkan diri di kamar mandi umum yang terdapat di pulau tersebut. Yang membuat aku terkesima adalah air di pulau Kepayang sangat jernih dan tidak payau sebagaimana umumnya pulau-pualu kecil atau daerah yang berada di dekat pantai. Puas mengguyur badan dengan air yang segar, aku berbenah dan sholat. Setelah itu aku segera bergabung dengan teman-teman yang telah lebih dahulu menyantap makan malam mereka dengan lahap. Untunglah aku masih kebagian ikan ‘Babulus’ yang terkenal gurih dan bertulang lunak.

Selesai makan, kami berkumpul dan bernyanyi diiringi petikan gitar dari jari-jari Hari yang terampil. Namun tepat jam sepuluh generator yang merupakan satu-satunya pembangkit listrik padam, membuat seluruh pulau dalam keadaan gulita. Dan karena kami belum benar-benar mengantuk, kami menyusuri pantai yang surut. Apabila kami beruntung, kami bisa bertemu dengan penyu yang akan bertelur. Mengingat pulau Kepayang adalah tempat penangkaran  penyu sisik. Kami terus berjalan dan sampai di depan batu yang menyerupai sanggul (konde jawa). Lalu kami terangi batu tersebut dengan lampu senter, batunya berpendar memantulkan cahaya. Jika dilihat lebih teliti batu tersebut ternyata tersusun dari pecahan kristal-kristal granit yang unik.

Tidak jauh dari batu sanggul, terdapat batu lain yang permukaannya datar, aku merebahkan tubuhku diatas batu tersebut diikuti teman-temanku yang lain. Sambil melepaskan pandangan ke langit dimana berjuta bintang bertabur, kami bertaruh untuk menemukan satu rasi bintang. Lebih dari itu salah satu dari kami nyeletuk, “Semoga bisa menemukan bintang jatuh, sehingga bisa membuat satu permohonan”  yang selanjutnya diikuti derai tawa.

Merasa mengantuk aku mengajak teman-teman untuk kembali ke perkemahan.  Sesampainya di depan tenda aku langsung masuk dan merebahkan badanku yang terasa lelah sekali. Kami tidur berjajar di atas kantung tidur masing-masing. Sambil membaca doa sebelum tidur, aku memandang lampu dari mercusuar di seberang pulau. Berkedip-kedip menghantarku menuju perjalanan yang lebih menakjubkan. Aku terlelap.  

Aku terbangun untuk yang ketiga kalinya saat Nove bertanya, “apakah hujan turun? Sejak semalam aku mendengar suara air,” tuturnya polos. Kiranya ia lupa jika saat ini sedang berkemah dan tidur di pinggir pantai. Dan suara air yang semakin jelas terdengar itu karena air laut dalam keadaan pasang.

Selesai sholat shubuh, kami segera menjemput sang fajar dengan suka cita. Matahari masih merangkak lamban, namun cahayanya yang berpendar telah menyirami kami dengan gradasi warna yang menakjubkan. Meneteskan embun diujung rumput dan dedaunan. Juga menyingkirkan bayangan bunga-bunga pohon ketapang yang jatuh semalam dari tangkainya sehingga terlihat anggun meski tersuruk diatas akar-akar pohon yang mencuat dari tanah.

Persis di belakang Bungalow terdapat tempat penangkaran penyu sisik. Binatang bercangkang yang mempunyai empat kaki dan mampu hidup di darat dan laut itu berenang di dalam kolam-kolam kecil tempat mereka dirawat dan dijaga sebelum dilepas ke habitat aslinya. Selesai mengamati dan memoto para tukik (anak penyu), kami kembali ke perkemahan.

Ramses yang merupakan koki andalan kedai Telapak segera menyiapkan sarapan pagi buat kami, dan Iqbal menggulung kantung tidur dan matrass bersama Hari. Nove membersihkan kerang-kerang yang dipungutnya di pantai. Maria dan Dektina pergi mandi dan berganti pakaian, sedang aku mencoba permainan outbond. Merangkak diatas jaring-jaring mirip manusia laba-laba, cukup menantang dan menguras tenaga. Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, banyak hal yang bisa dilakukan di pulau Kepayang seperti berkano, snorkling dan diving, lengkap dengan peralatan dan pemandu yang professional.

Selesai sarapan mie goreng, kami segera berkemas menanti Dita bersama perahunya yang akan mengajak kami berkeliling mengunjungi pulau-pulau disekitar Belitung. Satu jam terlambat dari jadwal yang ada, jam 08:30 Wib akhirnya kami berangkat menuju Pulau Lengkuas.

Hanya butuh waktu 15 menit kami sudah merapat di pulau Lengkuas. Aku mendongakkan kepala, menatap mercusuar peninggalan masa penjajahan Belanda yang masih berdiri kokoh menjulang ke angkasa. Mercusuar di pulau Lengkuas tersebut dibangun pada tahun 1882 dan saat ini masuk dalam distrik navigasi Tanjung Priok (DSI 1880) Ditjen Perhubungan Laut – Departemen Perhubungan.

Setelah puas berfoto-foto, kami kembali ke kapal dan masih di perairan sekitar pulau Lengkuas kami bersiap-siap untuk melihat keindahan bawah laut. Satu-persatu masuk ke dalam air, dan saat aku mencelupkan kepala dan membiarkan pandanganku liar menyapu lautan; terumbu karang yang subur menghias dasar lautan, ada pula yang mirip bunga mawar berwarna merah menyala dengan kelopaknya yang besar-besar sedang ikan-ikan beraneka warna berenang diantaranya. Ikan Badut (amphiprion ocellaris) juga terlihat malu-malu diantara anemonnya. Sementara kami terpesona oleh keindahan bawah laut, Nove yang tidak mau snorkle asyik memberi makan ikan dengan remah-remah roti.

Sengatan matahari kian terik membakar, saat kami memulai perjalanan menuju pulau burung. Sekitar 30 menit dari pulau Lengkuas kami merapat di pulau burung dan mengambil foto batu burung. Kapal kembali berlayar menuju Batu Berlayar, mengingat laut sedang pasang kami tidak bisa melihat keelokan Batu Berlayar yang sesungguhnya, sangat disayangkan.

Sebelum mencapai pantai Tanjung Kelayang, kami melewati batu Garuda. Kami berdecak kagum sambil mengabadikannya pada camera masing-masing. 11:30 Wib perahu merapat di pantai Tanjung Kelayang. Begitu kami turun, kami langsung digiring ke salah satu rumah makan yang ada. Secara bergiliran kami bergegas mandi dan bertukar pakaian. Selanjutnya kami makan siang; menu laut tetap mendominasi, cumi, udang, dan sup ikan ketarap telah siap untuk disantap.


13:30 Wib kami meninggalkan pantai Tanjung Kelayang menuju kedai Telapak untuk menurunkan barang-barang, lalu berlanjut ke pantai Tanjung Pendam untuk mencari souvenir dan oleh-oleh. Pantai Tanjung Pendam merupakan taman hiburan bagi penduduk Belitung, disana terdapat kios-kios yang menawarkan oleh-oleh ala Belitung yang bisa dibawa pulang dengan harga terjangkau. Kami mampir kesalah satu kios souvenir, dan masing-masing dari kami mendapat satu kaos hitam bertuliskan ‘BELITUNG’.

Selesai sholat kami segera bergegas meninggalkan pantai Tanjung Pendam dan langsung meluncur ke arah bandara. 15:00 Wib kami tiba di Bandara, setelah berpamitan dengan Hari, Dita, Ramses dan Alfa kami segera masuk untuk check in pesawat. Sedang Iqbal akan kembali ke Jakarta esok harinya, dengan penerbangan pagi.

Sementara Kru pesawat yang terdiri atas wanita-wanita anggun tengah menerangkan alat-alat keselamatan sebelum penerbangan. Nove yang duduk di pinggir mengeluarkan earphone dan segera membenamkan alat tersebut ke dalam telinganya. Diseberang Nove, Maria sudah memejamkan mata, istirahat akan memulihkan kekuatannya yang terkuras selama perjalanan. Sedang Dektina yang duduk diantara aku dan Nove masih asyik melihat hasil foto-foto dari kameraku. Sesekali aku turut berkomentar atas hasil foto tersebut. Dan ketika pesawat mulai take off, Dektina mematikan kamera dan mengembalikannya padaku. Ia membenamkan tubuhnya di sandaran kursi dan berusaha untuk mengistirahatkan tubuhnya.

Kugosok jendela yang berembun dengan telapak tanganku, lalu kulepas pandanganku pada daratan yang kutinggalkan. Semalam di pulau penghasil timah ini telah memberiku kesan yang dalam. ‘See you the beauty Belitong’    


Oleh: Wedhya Wardani
Terima kasih atas perjalanan yang menyenangkan kepada;
Harianto, Iqbal, Dektina S, Maria U, Nove I,  Dita A, Ramses, dan Alfa.













Kamis, 03 November 2011

PUKAU KILAU PAPANDAYAN

Perjalanan kali ini terhitung perjalanan yang sangat dadakan, bagaimana tidak karena H-1 tepatnya hari kamis saya baru diajak teman saya (dibaca lenggo) untuk melakukan pendakian ke gunung dengan ketinggian 2665 Mdpl. Sontak segala persiapan dilakukan dalam waktu kurang dari 24 jam. Niat dan keinginan yang kuatlah yang akhirnya bisa membawa kami untuk lagi-lagi memanjakan mata atas karunia cipta-Nya.


Gunung Papandayan adalah gunung api yang terletak di Kabupaten Garut, Jawa Barat tepatnya di Kecamatan Cisurupan. Gunung dengan ketinggian 2665 meter di atas permukaan laut itu terletak sekitar 70 km sebelah tenggara Kota Bandung.Pada Gunung Papandayan, terdapat beberapa kawah yang terkenal. Di antaranya Kawah Mas, Kawah Baru, Kawah Nangklak, dan Kawah Manuk. Kawah-kawah tersebut mengeluarkan uap dari sisi dalamnya.Gunung ini sangat terkenal di kalangan para pendaki, khususnya pendaki pemula. Selain terkenal dengan keindahan struktur alamnya, gunung ini juga memiliki kawah belerang yang masih aktif dan masih rimbunnya padang Eidelweis yang luasnya mencapai puluhan are serta banyak pula pohon Mutiara Putih. Gunung Papandayan merupakan cagar alam yang didalamnya banyak terdapat keanekaragaman hayati dan obyek-obyek wisata alam yang indah.
Papandayan tercatat beberapa kali erupsi. Di antaranya pada 1773, 1923, 1942, 1993, dan 2003. Letusan besar yang terjadi pada tahun 1772 menghancurkan sedikitnya 40 desa dan menewaskan sekitar 2951 orang. Daerah yang tertutup longsoran mencapai 10 km dengan lebar 5 km.Pada 11 Maret 1923 terjadi sedikitnya 7 kali erupsi di Kawah Baru dan didahului dengan gempa yang berpusat di Cisurupan. Pada 25 Januari 1924, suhu Kawah Mas meningkat dari 364 derajat Celsius menjadi 500 derajat Celcius. Sebuah letusan lumpur dan batu terjadi di Kawah Mas dan Kawah Baru dan menghancurkan hutan. Sementara letusan material hampir mencapai Cisurupan. Pada 21 Februari 1925, letusan lumpur terjadi di Kawah Nangklak. Pada tahun 1926 sebuah letusan kecil terjadi di Kawah Mas. Sejak April 2006 Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menetapkan status Papandayan ditingkatkan menjadi waspada, setelah terjadi peningkatan aktivitas seismik. Pada 7-16 April 2008 Terjadi peningkatan suhu di 2 kawah, yakni Kawah Mas (245-262 derajat Celsius), dan Balagadama (91-116 derajat Celsius). Sementara tingkat pH berkurang dan konsentrasi mineral meningkat. Pada 28 Oktober 2010, status Papandayan kembali meningkat menjadi level 2. (Sumber Wikipedia)
Berangkat jam 09.30 malam dari terminal Lebak Bulus menuju Garut mengunakan bus Primajasa dengan tarif 35rb. Perjalanan memakan waktu sekitar 7 jam lebih lama dari biasanya karena sedang ada perbaikan jalan di jalur nagreg. Perbaikan jalan tersebut sebagai salah satu program pemerintah dalam persiapan jalur mudik lebaran tahun 2011 ini. Kondisi tubuh yang letih, capek dan lelah karena pagi sampai sorenya kami bekerja terlebih dahulu sebelum malamnya melakukan perjalanan membuat kali ini saya dan teman-teman tidak sempat menikmati perjalanan. Kami semua terlelap dalam istirahat, sesekali saya terbangun karena jatuh dari kursi akibat jalan yang berkelok.
Jam tangan menunjukan pukul 04.00, Adzan subuh mulai berkumandang, tepat dengan kedatangan kami di Terminal Guntur Garut. Kami langsung menuju masjid untuk menghadap Ilahi, menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim. Setelah melakukkan sujud syukur, kamipun bergegas mencari sarapan, karena LAPARRRRR yang mendera. Cari sana-sini akhirnya dapat warung gerobak dorong yang menjual nasi kuning dan bubur ayam, dalam waktu sekejam dimulailah kerusuhan terjadi, setiap anak bilang “bu saya nasi kuning porsi besar pake telor dadar 1, saya bubur ayam g pake sambel kacangnya sedikit aza bu, bu saya nasi kuning enggak pake kecap (eh…glek emang ada nasi kuning pake kecap?), bu saya ibu nya aza…hehehheh…. Semua rusuh karena mengatas namakan Lapar… 10 menit berlalu semua terdiam dan terhanyut dalam makanan masing-masing. 
Jam sudah menunjukan pukul 06.00, langsung bergegas cari angkot setelah 30 menit bergulat dalam ritual tawar menawar akhirnya si Mamang tukang angkot menyerah di harga 150rb sampai pos regestrasi pendakian, cihuy….akhirnya KO juga dia. Semua masuk ke dalam angkot kumpulin uang patungan, dan langsung menikmati perjalanan di pagi hari yang indah ini. Bila kita tidak mencarter angkot ada alternatif lain untuk mendaki Papandayan, pertama-tama sambangilah kota kecil Cisurupan via jalur Garut-Pameungpeuk dengan ongkos angkot 5-7rb/org. Dari Cisurupan, naik terus ke atas hingga parkiran kawah mengunakan mobil pik-up biasanya kena ongkos 10-15rb/org. Kalau membawa kendaraan pribadi, persiapkan kendaraan dan tentunya mental sang pengemudi untuk menghadapi jalanan berlubang sepanjang kira-kira 10 kilometer. Kalau tak bawa kendaraan pribadi, bisa naik ojek dengan tarif Rp.20.000. Mau mencoba jalan kaki?
Tidak dilarang. Dalam waktu 4-5 jam, pasti sudah sampai di kawasan parkiran dengan bonus dengkul yang pengkor.

Kurang lebih 2 jam perjalanan dari terminal Garut menuju parkiran Papandayan, dengan jalan yang rusak dan berdebu. Sampai di lapangan parkir Papandayan, kami langsung disambut oleh dinginnya udara dan sinar matahari pagi.



Kami lalu langsung ke pos pendaftaran pendakian, disana kami cuma bayar secara sukarela kepada petugas polisi hutan dan diberi peta sampai ke pondok salada aja. Katanya kalo ga tau jalan mending ga usah ke Tegal Alun dan ke puncak. Kami semua emang baru pertama kali ke Papandayan, jadi ga ada yang tau jalan tapi semua sepakat kalo bisa harus sampai puncak.
Setelah persiapan siap semua, kami ber-7 pun siap memulai pendakian, dengan tema “pendakian ceria 7 icon”, kami mulai menundukan kepala, mengedahkan tangan berdoa sebelum menjajaki gunung yang indah ini. Tepat Pukul 09.00, langsung saja kami semua mengarahkan langkah menuju kawah. 
Adapun treck pendakian pertama yang akan kami lewati adalah :
Jalur bertabur kilau emas
Disebut seperti itu karena sepanjang jalur ini banyak sekali bebatuan kuning yang mengandung belerang bila dari kejauhan terlihat sepeti bebatuan emas. Jalur ini cukup panjang dan berbatu hingga akhirnya melewati kawah yang mengepulkan asap belerang. Beberapa kali asap belerang mengarah ke kami yang sedang berjalan. Alhasil, mata menjadi perih dan napas menjadi sesak dan batuk, apalagi bagi karena jalurnya, tetapi panjang nya trek yang kami lewati.

saya yang punya penyakit ashma, asap-asap ini 
sangat mengganggu dan menguras napas saya






Lawang Angin
Selepas kawah, trek selanjutnya adalah Lawang Angin, sebuah celah besar yang membelah sebuah punggungan. Jalur lebar ini ternyata dulunya memang bisa dilewati mobil offroad hingga ke daerah hokberhut. namun sejak letusan 2002, jalur mobil ini terputus sehingga mustahil dilewati.

“Nanti kalau sampai Lawang Angin, jalan terus ke Selatan ya..." ujar seorang pemandu Bapak yang membawa motor Trail yang hendak ke perkebunan. Ternyata benar katanya. Selepas Lawang Angin ada sebuah lapang besar, dan jalur mobil mengarah ke Barat. Kalau keasikan mengikuti jalur, bisa-bisa malah turun di daerah Pangalengan.



Jalur yang benar adalah masuk ke dalam hutan, selepas lapangan besar tadi. Tambahan pula, lapangan tersebut selalu becek akibat bocornya saluran air petani. Jadi pintar-pintar sajalah memilih jalurnya. Kalau tidak mau repot pilih jalur, terabas saja terus. Minimal lumpur se-tumit akan menghiasi kaki.  

Pondok Salada
Memasuki jalur hutan tersebut, jalanan akan sedikit menanjak. Menjelang Pondok Salada, jalanan akan kembali melandai. Motor villager masih bisa masuk ke jalur ini. Jadi kalau ragu dengan jalurnya, lihat saja jalurnya, masih ada jejak motor atau tidak. Jika perjalanan lancar tanpa kendala, dengan berjalan santai saja dalam waktu satu setengah jam dari parkiran, sudah sampai di Pondok Salada, sebuah dataran luas yang biasa dipakai berkemah. Pukul 10.45, kami tiba di Pondok Salada, langsung mendirikan tenda, sementara menunggu para lelaki mendirikan tenda, kami srikandi-srikandi mulai menyiapkan peralatan untuk memasak makan siang.



Setelah selesai memasak, kami makan siang bersama ditemanin dengan derupan angin khas pondok salada yang sejuk mengalahkan teriknya sinar matahari, disini kami menyadari begitu adilnya Allah SWT, sampai ditengah panas diberi kesejukan untuk kami. Selesai makan kami mencuci peralatan memasak dan mengambil air untuk persedian. 


Perut kenyang dan sejuknya udara menghantar mata kami kealam mimpi. Satu persatu mulai masuk tenda dan melakukan ritual anak TK disiang hari, “BOBO Tiyang”

Terbangun dari tidur siang, kami bersiap-siap menuju puncak sebagaimana yang telah disepakati bersama kami akan menikmati sunset di puncak. Tak menunggu lama kami langsung bergegas menuju trek ke puncak walau diantara kami tidak ada yang tahu dimana jalur menuju puncak. Kami hanya berbekal info dari pendaki tetangga tenda sebelah mengenai trek kami semua tetap semangat mendaki kembali. Dengan perkiraan Submit sekitar 30-45 menit kami kuatkan tekad menuju puncak dimana akan melalui Tegal alun yang terkenal dengan padang edelweissnya.


Kami mulai melalui trek yang becek yang kanan kirinya ditumbuhi oleh padang ilalang, yang membuat kaki kami gatal-gatal, tak lama menyusuri trek ini kami mulai memasuki trek hutan rimbun, sambil terus mencari jalur karena ketidaktahuan kami akan trek menuju puncak, kamipun mendapat petunjuk ada banyak marking tali rafia biru dan merah di pohon-pohon. Marking tersebut selanjutnya menjadi patokan petunjuk arah kami untuk menuju puncak atau TOPDA.



Tegal Alun
Keluar dari hutan yang lebat, lalu treck selanjutnya adalah bebatuan besar dan menanjak. Trek bebatuan kami laluI kurang lebih 15 menit, sampai akhirnya menemui hamparan ladang edelweiss luas. Tak memakan waktu banyak kami langsung berfoto-foto ria, mengingat jam masih menunjukan jam 2.15 kami puas­puaskan berfoto di padang ini.



Puas berfoto kami melanjutkan perjalanan menuju TOPDA atau puncak. Jalur menuju puncak dari tegal alun membingungkan banyak cabang, yang tadinya banyak pepohan lebat dalam waktu sekejap sudah berubah keadaan menjadi jalur yang dipenuhi oleh pepohonan cantigi. Tidak ada lagi daun-daun pakis, yang ada hanya kayu tumbang dan sarang laba-laba yang melintang. Sesampainya di TOPDA kami malah heran bukan kepalang karena Puncak Papandayan 2665mdpl, adalah sebuah hutan lebat, tanpa ada pemandangan menuju ke bawah. Dipakai foto-foto pun tidak bagus. Kami sadar, kenapa jarang orang yang mau susah payah naik ke TOPDA. Orang disini gak keliatan apa-apa,  malah serasa di tengah hutan. Suasana TOPDA, jangan dibayangkan ada tulisan macam "Selamat, Anda di Puncak", atau ada tugu triangulasi, yang ada hanya malah berasa di dalam hutan sungguh mengecewakan. Walau begitu kami tetap senang dan ceria bersama serta tidak ketinggalan bernasis ria kembali.



Melihat pemandangan alam yang begitu indah, padang Edelweis, sunset, Gunung Cikuray dan kota Garut. Semuanya menyatu dengan baik. Begitu sempurna segala ciptaan-Mu. Tak hentin-hentinya kami mengucap Subhanallah atas segala nikmat yang telah Kau berikan ya ALLAH.



Puas menikmati sunset, kami bergegas turun menuju pondok salada tempat kami bermalam. Sesampainya di tenda kami memasak untuk makan malam. Malam pun tiba taburan bintang jatuh menemani malam kami. Malam yang begitu indah dan kebersamaan yang begitu hangat menjadikan suasana damai sangat terasa. Kebersamaan yang tercipta dalam setiap perjalanan akan berbuah pada tali persaudaraan. Malam pun berganti pagi, tiba saatnya kami menikmati sunrise dari Pondok Salada.



Inilah matahari yang menyambut pagi kami di Papandayan. Teriknya yang sangat menghangatkan hati dan tubuh. Pagi disambut dengan senyuman, sarapan dan beres-beres kembali untuk melanjutkan perjalanan, pulang. Tepat Pukul 10.00 kami meninggalkan Pondok Salada. Rute pulang kami dimulai dari hutan mati dan danau susu, kemudian melewati danau volcano dan diakhiri dengan trek bebatuan. Kembali kami dibuat kagum, dan mengucapkan Subhanallah.



Perjalanan pulang yang terhitung lama hampir 2,5 jam kami tempuh, sebenarnya trek perjalanan normal bisa ditempuh dalam waktu 1 jam namun karena kami semua selalu mengabadikan setiap tempat yang kami jumpai dan moment – moment kebersamaan, jadilah waktu turun lebih lama dibanding naik. Sampai di pos registrasi Pukul 12.30, tak menunggu lama sebagian dari kami langsung mandi dan sebagian lagi masak untuk makan siang menghabiskan sisa logistic. Setelah semua mandi dan makan, kami menunggu mobil pik­up untuk mengantar kami kembali ke terminal Guntur.



Hitung-hitungan biaya selama perjalanan :
Bus Primajasa JKT-GARUT PP                      : 70.000
Sewa angkot Guntur-Papandayan150Rb/7         : 21.000
Registrasi Pendakian Sukarela                          : 2000
Mandi dll / alias ke Toilet                                  : 2000
Sewa Pik-Up Papandayan-Guntur                    : 15000
Logistic & Snack                                             : 20000
Souvenir                                                          : 5000
                                                                         

INDONESIA memang INDAH, dengan uang sebesar itu kita bisa menikmati keindahan alam yang tak ternilai. 
I LOVE INDONESIA. INDONESIA WONDERFUL. TIDAK ADA NEGARA SEINDAH INDONESIA.


Ditulis oleh: Febri Indah

Pulau Sempu yang super seru ! ! ! (part 2)

Segara Anakan

Selamat pagiii Segara Anakan..yup ini lanjutan dari Pulau Sempu bagian 1. jam 04.00 gw udah kebangun karena tenda sebelah berisik banget. Disini jam 05.00 juga matahari udah terang jadi kita langsung bagi tugas, yang cowok pada beresin tenda, yang cewe pada sikat gigi, cuci muka dan buat makanan serta minuman. Selesai beresin tenda gw dan Fani langsung naek ke tebing untuk ngeliat sunrise, tapi karena terhalang tebing maka kita hanya dapet sekelebatan sinarnya aja. Walau gitu pemandangan disini tetp indah, di sebelah kanan ada segara anakan yang hijau, di sebelah kiri ada hamparan laut yang biru. Sungguh komposisi yg pas yang diciptakan Tuhan.



Okeh, puas poto poto di tebing saatnya maen ke segara anakan. Karena pagi itu airnya sedang surut maka gw dan Fani iseng iseng nyebrang ke Karang Copong, Karang Copong adalah sebuah lobang di tengah karang tempat masuknya/keluarnya air laut. Pas kita nyebrang airnya hanya sedengkul, ketika udah sampe karang copong mendadak ada yang teriak bahwa airnya pasang dan ternyata pas gw buru buru balik airnya udah sampe pangkal paha. Untung aja, ga kebayang kalo gw sampe kejebak disana secara gw ga bisa berenang.





Puas menggila di segara anakan maka saatnya packing, tapi pas balik ke base camp ternyata Vikki yang lagi kesambet jin sempu berbaik hati udah nyiapin mi goreng. Langsung aja kita hajar tanpa sisa sambil nungguin yang lain yang lagi asik poto poto.


Sekarang udah jam 07.00, berarti saatnya kita trekking lagi untuk menuju Pantai yang ada di pulau ini. Medan yang kita hadapi hampir sama dengan kemaren, hanya saja lebih jauh dan lebih susah, kita harus turun tanah yang menurun, menanjak, menuruni tebing dengan tangga dan menunduk melewati batu. Disini si Vikki berniat menghibur dengan bernyanyi kenceng kenceng tapi yang terjadi adalah mba Nur jadi kepentok batang pohon.

Kejadian sebelum insiden..





Pantai Kembar 2

Pantai pertama kita adalah Pantai Kembar 2. Pantai ini berada ditengah 2 tebing yang menjadikan ombaknya yang tidak begitu besar. Sayang pantai ini punya terlalu banyak karang sehingga kita ga bisa maen terlalu jauh.




Pantai Pasir Panjang

Perjalanan dilanjutkan menuju Pantai Pasir Panjang, perjalanan kesini bener bener ajiiibb. Bayangin aja kita harus merangkak melewati lobang di batu trus melewati tebing curam dengan menuruni tangga.




Tapi setelah semua rintangan itu yang menenti kita disana adalah pantai berpasir putih dengan air biru yang jernih dan dingin dengan latar batu karang yang dikelilingi birunya langit. Yang kemaren gamau ikut diajak silahkan iri seiri-irinya umat ngeliat gambar dibawah ini.






Ini pantai indah nya kebangetan dah, sekarang gw tau kenapa disebut "the beach"nya Indonesia. Kayaknya phi-phi mah lewaatt. Disini kita bener bener kita doang pengunjungnya, karena kebanyakan orang taunya sempu ya segara anakan itu.

Kalau kalian mengira ini udah abis...eits tunggu dulu, karena di balik karang itu ternyata masih ada kejutan yang diberikan olehNya, keindahan pantai ini masih berlanjut sodarah sodarah. Dan kita pun mengeluarkan seluruh bakat narsis kita.




Setelah puas dimanjakan oleh pantai indah nan ciamik tadi perjalanan dilanjutkan. Kita masuk hutan lagi, nanjak tebing lagi, turun tebing lagi dan ternyata alam masih menyimpan kejutan.


Pantai Semut Belean

Setelah pantai pasir panjang yang ciamik tadi gw kira  udah pamungkasnya, ternyata pantai semut belean ga kalah aduhai. Pantai diapit karang dengan ombak yang lumayan tinggi di kejauhan berpadu sempurna dengan pasir putih bersih dibalut warna biru langit dan laut. Pokoknya ini pantai indahnya seindah indah pantai dah.







Akhirnya waktu jualah yang menghentikan kita menikmati keindahan ciptaanNya. Karena jam 11.00 kita udah harus sampe sendang biru lagi. Maka perjalanan menembus hutan dan melintasi tebing pun kita lakukan kembali. Sampai akhirnya kita sampai ke teluk semut, ternyata air sedang pasang jadi pohon bakau yang saat kita dateng bisa kita lewatin sekarang udah kerendem air.



Tampang2 "seger" sehabis trekking sekitar 20 km..

Ga lama nunggu kapal kita dateng. Kali ini kita harus berbagi suami kapal dengan rombongan lain. Angin di kapal amat sangat sejuk setelah badan mandi keringet sepanjang perjalanan dan kita pun kembali ke sendang biru untuk selanjutnya menuju Malang.


Sendang Biru

Malang

Di Malang kita sampe ke rumah Rima jam 13.30, First thing first adalah mandi, karena kereta yang akan membawa kita kembali ke ibukota jalan jam 15.00. Mau ga mau makanan kita pun dibungkus untuk dimakan di Matarmaja.


Matarmaja

Sambil nunggu kerete jalan gw, Gemy, Cilis dan Lisna (yang lain pulang naek pesawat) menikmati Pecel Kawi. Gatau emang tuh pecel enak atau kita yang laper ga sampe 10 menit tuh pecel udah pindah tempat ke perut kita. Dan ketika peluit dibunyikan maka dimulailah perjalanan panjang 19 jam menuju Jakarta.

Tetap sehat, teteap semangat karena berikutnya kita akan jalan jalan ke Teluk Kiluan..

NB : Di tengah berbagai terjangan kabar buruk di negeri ini , gw sangat ingin memberikan cerita tentang indahnya negeri kita yang bisa membuat kalian (minimal) tersenyum. Cerita yang bisa membuat kita semua bangga berkata, aku cinta Indonesia.. :)

Trip now, Think later..