Hari itu, sabtu 15
Juni 2013, kaki kami berayun selangkah demi selangkah. Sekali tapak,kaki kanan
maju berganti kaki kiri. Lima jam berlalu, nafas kami mulai tersendat-sendat,
gelap mulai meliputi desa Cibeo. Anak-anak dan para pemuda tanpa beralaskan kaki
pulang dari ladang.
Setelah 1,5 kilo berjalan dari diperbatasan baduy luar-dalam, kami mulai melihat sederetan lumbung-lumbung padi dengan bentuk dan ukuran yang sama. Nampak beberapa Saung diujung ladang tempat istirahat petani. Suara jangkrik mulai terdengar. Riak air melantunkan suara alam. Pepohonan tinggi yang hijau terang itu mulai menggelap.
Sinar mentari mulai bersembunyi, berganti dengan gemuruh suara petir menandakan sang hujan akan turun bercumbu dengan bumi. Jalanan berbatu yang disusun rapi mengantarkan kami memasuki perkampungan. Beberapa ekor ayam menyambut kami, yak disini ga ada sapi, kambing maupun kerbau, karena ternak berkaki empat tidak diperbolehkan bagi suku baduy.
Pakaian penduduknya sederhana, hanya ada hitam atau putih. Seperti kehidupan mereka semua hanya tentang hitam dan putih. Tidak seperti kita yang penuh warna warni. Mereka hidup dalam kepolosan dan kesederhanaan.
“Kenapa pakaian harus berwarna hitam atau putih?”, Tanya ke Sapri.
“Karena memang begitu aturannya”, ujarnya.
Baydewai siapa tuh Sapri?? Kami memanggilnya Sapri. Pemandu sekaligus tuan rumah kami. Pria 22 tahun dengan wajah dan perawakannya yang lebih muda dari usianya. Malah mirip artis menurut temen teman gw. Nama aslinya pun Sapri, (menurut lo??) Kakinya pendek, keras, melebar, betisnya besar dan berotot, mirip bangsa Hobbit dalam Lord of the Ring. Belum nonton?? Kesian deh lo. Rambutnya pendek, kepala diikat kain putih. Kulitnya sawo matang, ramah, banyak bicara dan gaol abisss!!! Doi tau starbak, EX dan beberapa tempat yang bahkan gw sebagai warga Jakarta pun ga pernah masukin. Bahkan ungkapan khas ibukota seperti 'mau tau banget' dan ' kepo' pun dia tau. G4h0L banget ga sih.
Setelah 1,5 kilo berjalan dari diperbatasan baduy luar-dalam, kami mulai melihat sederetan lumbung-lumbung padi dengan bentuk dan ukuran yang sama. Nampak beberapa Saung diujung ladang tempat istirahat petani. Suara jangkrik mulai terdengar. Riak air melantunkan suara alam. Pepohonan tinggi yang hijau terang itu mulai menggelap.
Sinar mentari mulai bersembunyi, berganti dengan gemuruh suara petir menandakan sang hujan akan turun bercumbu dengan bumi. Jalanan berbatu yang disusun rapi mengantarkan kami memasuki perkampungan. Beberapa ekor ayam menyambut kami, yak disini ga ada sapi, kambing maupun kerbau, karena ternak berkaki empat tidak diperbolehkan bagi suku baduy.
Pakaian penduduknya sederhana, hanya ada hitam atau putih. Seperti kehidupan mereka semua hanya tentang hitam dan putih. Tidak seperti kita yang penuh warna warni. Mereka hidup dalam kepolosan dan kesederhanaan.
“Kenapa pakaian harus berwarna hitam atau putih?”, Tanya ke Sapri.
“Karena memang begitu aturannya”, ujarnya.
Baydewai siapa tuh Sapri?? Kami memanggilnya Sapri. Pemandu sekaligus tuan rumah kami. Pria 22 tahun dengan wajah dan perawakannya yang lebih muda dari usianya. Malah mirip artis menurut temen teman gw. Nama aslinya pun Sapri, (menurut lo??) Kakinya pendek, keras, melebar, betisnya besar dan berotot, mirip bangsa Hobbit dalam Lord of the Ring. Belum nonton?? Kesian deh lo. Rambutnya pendek, kepala diikat kain putih. Kulitnya sawo matang, ramah, banyak bicara dan gaol abisss!!! Doi tau starbak, EX dan beberapa tempat yang bahkan gw sebagai warga Jakarta pun ga pernah masukin. Bahkan ungkapan khas ibukota seperti 'mau tau banget' dan ' kepo' pun dia tau. G4h0L banget ga sih.
Ini Sapri..itu adknya Sapri.. |
Tiga puluh enam jam gw berhasil menikmati detik
demi detik, menit dan jam dalam keterkesimaan yang membuat gw ga tergoda
memainkan hape. Menikmati waktu dengan mengobrol dan melihat alam dan
kesederhanaan manusia. Gw belajar bahwa kita ga bakal mati hanya karena ga ada
listrik, kendaraan, dan teknologi. Dan kita ga berarti kagak bahagia tanpa
wanita handphone, facebook, twitter dan alat kapitalis
lainnya.
*** (memasuki waktu dilarang foto) ***
Pagi.. awal dari sebagian besar makhluk hidup diseluruh penjuru dunia … Hari itu gw seperti memasuki sebuah kapsul waktu yang menembus beberapa abad lampau. Sama halnya disini, dibawah cahaya bulan purnama yang ditutupi serpihan awan hitam di antara jejeran rumah berbambu, kami menghirup aroma tumbuhan pagi disekitar kampung yang rumahnya saling berdempetan.
Sebuah desa bernama Cibeo, populasi (sekitar) 450 jiwa termasuk anak-anak dan mayoritas anaknya cowok. Desa lainnya yang termasuk dalam Baduy Dalam yaitu Cikertawana dan Cikeusik. Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten. Pegunungan ini merupakan satu kesatuan yang berkepala di Ujung Kulon dan berekor di Jawa timur. Berada diketinggian 500 mdpl, desa ini cukup dingin dan sejuk. Sedingin hatimu saat itu. *uhuk*
Pagi itu, anak anak baduy mulai berkumpul di sebrang rumah tempat gw nginep. Sekumpulan bocah usia 4-8 tahun berkumpul mengelilingi siduru. Semacam panci yang dimasak diatas tungku kayu bakaran untuk menghangatkan badan. Berikat kepala warna putih, bersarung gelap garis vertikal, dan berbaju putih. Mereka asyik bersenda gurau, wajahnya hampir mirip semua, putih, bulat, pesek, persis seperti orang Baduy Dalam.
Mereka saling berceloteh dan sesekali melihat kami dengan heran, kemudian tertawa sebentar. Beberapa bocah lainnya duduk berdekatan, mereka saling diam, tidak bicara, hanya memperhatikan orang dewasa bicara atau tersenyum malu-malu melihat kami “orang kota” yang mungkin aneh bagi mereka. Gw cuman terkesima mengamati mereka. Perhatiin deh, ga ada wajah lelah mereka, ga ada wajah kecewa, ga ada marah atau bahagia yang berlebih. Ga seperti orang kota yang pada jam jam segitu pada hari kerja seakan lupa bahwa kita pernah upacara dibawah bendera yang sama.
Perjalanan menuju Baduy Luar sampai ke Baduy Dalam menempuh jarak 12km. Tapi jangan anggap tanahnya flat dan beraspal, kami harus melawati kurang lebih 7 bukit dalam waktu 4-5 jam. Kalau orang baduy sendiri cukup 1,5-2 jam saja. Treknya ga pernah rata. Selalu naik turun seperti kehidupan.
Oiya, sebutan “baduy” memang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat ini. Dulu para peneliti Belanda menyamakan istilah Arab Badawi yang hidupnya berpindah-pindah serta karena terdapat sungai dan gunung Baduy disekitar situ. Mereka sendiri lebih suka dipanggil “urang Kanekes” atau “urang Cibeo”, sesuai nama kampung mereka.
Mungkin banyak orang menyayangkan kehidupan orang Baduy yang tidak mengijinkan anak anak mereka sekolah. Terlepas dari itu semua, menurut gw hidup mereka jauh lebih layak dibanding orang orang terlantar dikota. Disini mereka sangat diperlengkapi oleh alam. Air, tumbuhan, hewan, ladang, rumah bambu dan segalanya tercukupi. Bahkan kebahagiaan pun didapatkan dengan hidup tenang di tempat pengasingan seperti itu. Bukankah sekolah mereka dengan belajar dari sumber ilmu yang sesungguhnya yaitu alam dan segala isinya. Bukan hanya dari ruang kecil berukuran 7x7 meter lengkap dengan kursi, meja dan papan tulisnya.
Satu hal yang melekat otak gw ketika pertama kali adalah menanyakan hal mengapa orang baduy ga mau sekolah?? Kenapa sekolah itu mahal?? kenapa BBM naik?? KENAPA???
Dan jawaban si Sapri atas pertanyaan pertama gw sangat menusuk hati nurani gw.
“Karena kalau orang jadi pintar bisa berbuat jahat”, jawab Sapri. Alasan itu pulalah yang membuat Sapri bahagia di tengah ke-anti modern-annya. Bahwa segala teknologi dan kepintaran bisa menggoda manusia untuk merasa berkuasa. Baik terhadap sesama manusia atau terhadap semesta.
Rumah mereka pun sederhana. Hanya potongan kayu yang diikat satu sama lain menggunakan kulit kayu. Beratapkan daun kelapa dan berlantaikan tikar dari kayu. Mereka memasak menggunakan kayu bakar dan minyak sayur. Tak ada hiasan menempel di dinding rumah mereka. Mungkin God Bless sedang berada disini saat menciptakan lagu "Rumah Kita". Dimana hanya bilik bambu yang menjadi tempat tinggal kita, tanpa hiasan dan tanpa lukisan.
Pagi-pagi perempuan Baduy pergi ke ladang, anak-anak bayi berusia 1 tahunpun sudah mulai diajar berjalan kaki tanpa alas ke ladang. Penghasilan utama mereka sebenernya bukan dari ladang, kalau hasil panen berlebihan baru mereka jual seperti buah aren, pisang, ubi, singkong dan madu (Madu Baduy ajib bener, jangan sampe ga beli ya kalo kesana). Banyak perempuan juga menjual kerajinan dan kain tenun , bagi para pria dan anak laki-laki bonus jadi porter dan guide juga cukup lumayan.
Sistem pertaniannya dengan padi gogo, alurnya juga ladang berpindah. Sekitar 2-5 tahun mereka harus meninggalkan ladang agar dihutankan kembali. Sungguh-sungguh komunitas yang sangat konsisten dengan tradisinya.
Orang baduy hidup dengan aturan yang cukup kuat. Mereka sangat kuat memegang tradisi nenek moyang. Mulai dari lahir hingga mati, semua sudah ada aturan, dengan kata lain segala sesuatunya bukan pilihan kita. Bukan karena mereka tidak berhak memiliki pilihan, tetapi memang pilihan mereka untuk diatur. Jika tidak mau diatur, konsekwensinya akan dikeluarkan menjadi orang baduy luar. Dan itu -buat orang Baduy Dalam- sangat menyakitkan menyakitkan buat mereka.
“kami tidak boleh pakai alas kaki, tidak boleh naik kendaraan, tidak boleh pakai piring dan gelas modern, tidak boleh ambil air pakai ember, tidak boleh mandi dengan sabun dan shampoo kimia, tidak boleh juga bersentuhan dengan teknologi,” kata Sapri.
Semula pria yang sudah pernah jalan kaki ke Bekasi dalam waktu tiga hari ini tidak banyak bicara, namun setelah kami selalu mengajaknya ngobrol, nampaknya dia mulai terbiasa dengan banyaknya pertanyaan kami. Apalagi grup kami ada Acong 1 dan Acong 2 (sebut saja demikian) yang sepanjang 4 jam ga pernah berhenti berbicara.
“Setiap orang baduy, ketika bayi jodoh mereka sudah ditetapkan. Ketika usianya sudah mencapai lebih dari 12 tahun, mereka mulai dipersiapkan menuju pernikahan”, lanjutnya.
Karena jumlah penduduk suku tersebut tidak banyak, mereka memperbolehkan pernikahan antar sepupu yang disebut Misan, yang tidak diperbolehkan hanya menikah dengan saudara sekandung. Ketika sudah menikah, orang tua wajib memberikan minimal satu leuit atau lumbung padi. Syaratnya pun mudah, sang pria cuma disuruh bekerja di ladang sang keluarga wanita dan begitu pula sebaliknya. Yang kedua adalah sang pria harus sudah bekerja dan mempunyai penghasilan sendiri.
Satu lagi, jangan coba coba meminum air campuran daun kastulang yang memberi efek menguatkan stamina dan menyehatkan tubuh ketika bertamu ke Baduy dalam. Rasa airnya mirip campuran cincau dan madu. Ketagihan ga ditanggung.
** (keluar dari wilayah tanpa teknologi) ***
Salah satu spot menarik di Baduy adalah jembatan akar dan jembatan gantung. Jembatan akar yaitu sebuah jembatan yang dililit dan diperkuat oleh akar. Sedangkan gantung itu ya jembatan yang digantung *dikeplak*. Bahkan dalam membangun jembatan pun masyarakat Baduy punya aturan sendiri, yaitu pengerjaan jembatan harus selesai dalam sehari. Jika sehari ga selesai maka jembatan akan dibongkar dan dibangun lagi keesokan harinya.
*** (memasuki waktu dilarang foto) ***
Pagi.. awal dari sebagian besar makhluk hidup diseluruh penjuru dunia … Hari itu gw seperti memasuki sebuah kapsul waktu yang menembus beberapa abad lampau. Sama halnya disini, dibawah cahaya bulan purnama yang ditutupi serpihan awan hitam di antara jejeran rumah berbambu, kami menghirup aroma tumbuhan pagi disekitar kampung yang rumahnya saling berdempetan.
Sebuah desa bernama Cibeo, populasi (sekitar) 450 jiwa termasuk anak-anak dan mayoritas anaknya cowok. Desa lainnya yang termasuk dalam Baduy Dalam yaitu Cikertawana dan Cikeusik. Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten. Pegunungan ini merupakan satu kesatuan yang berkepala di Ujung Kulon dan berekor di Jawa timur. Berada diketinggian 500 mdpl, desa ini cukup dingin dan sejuk. Sedingin hatimu saat itu. *uhuk*
Pagi itu, anak anak baduy mulai berkumpul di sebrang rumah tempat gw nginep. Sekumpulan bocah usia 4-8 tahun berkumpul mengelilingi siduru. Semacam panci yang dimasak diatas tungku kayu bakaran untuk menghangatkan badan. Berikat kepala warna putih, bersarung gelap garis vertikal, dan berbaju putih. Mereka asyik bersenda gurau, wajahnya hampir mirip semua, putih, bulat, pesek, persis seperti orang Baduy Dalam.
Mereka saling berceloteh dan sesekali melihat kami dengan heran, kemudian tertawa sebentar. Beberapa bocah lainnya duduk berdekatan, mereka saling diam, tidak bicara, hanya memperhatikan orang dewasa bicara atau tersenyum malu-malu melihat kami “orang kota” yang mungkin aneh bagi mereka. Gw cuman terkesima mengamati mereka. Perhatiin deh, ga ada wajah lelah mereka, ga ada wajah kecewa, ga ada marah atau bahagia yang berlebih. Ga seperti orang kota yang pada jam jam segitu pada hari kerja seakan lupa bahwa kita pernah upacara dibawah bendera yang sama.
Perjalanan menuju Baduy Luar sampai ke Baduy Dalam menempuh jarak 12km. Tapi jangan anggap tanahnya flat dan beraspal, kami harus melawati kurang lebih 7 bukit dalam waktu 4-5 jam. Kalau orang baduy sendiri cukup 1,5-2 jam saja. Treknya ga pernah rata. Selalu naik turun seperti kehidupan.
Oiya, sebutan “baduy” memang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat ini. Dulu para peneliti Belanda menyamakan istilah Arab Badawi yang hidupnya berpindah-pindah serta karena terdapat sungai dan gunung Baduy disekitar situ. Mereka sendiri lebih suka dipanggil “urang Kanekes” atau “urang Cibeo”, sesuai nama kampung mereka.
Mungkin banyak orang menyayangkan kehidupan orang Baduy yang tidak mengijinkan anak anak mereka sekolah. Terlepas dari itu semua, menurut gw hidup mereka jauh lebih layak dibanding orang orang terlantar dikota. Disini mereka sangat diperlengkapi oleh alam. Air, tumbuhan, hewan, ladang, rumah bambu dan segalanya tercukupi. Bahkan kebahagiaan pun didapatkan dengan hidup tenang di tempat pengasingan seperti itu. Bukankah sekolah mereka dengan belajar dari sumber ilmu yang sesungguhnya yaitu alam dan segala isinya. Bukan hanya dari ruang kecil berukuran 7x7 meter lengkap dengan kursi, meja dan papan tulisnya.
Satu hal yang melekat otak gw ketika pertama kali adalah menanyakan hal mengapa orang baduy ga mau sekolah?? Kenapa sekolah itu mahal?? kenapa BBM naik?? KENAPA???
Dan jawaban si Sapri atas pertanyaan pertama gw sangat menusuk hati nurani gw.
“Karena kalau orang jadi pintar bisa berbuat jahat”, jawab Sapri. Alasan itu pulalah yang membuat Sapri bahagia di tengah ke-anti modern-annya. Bahwa segala teknologi dan kepintaran bisa menggoda manusia untuk merasa berkuasa. Baik terhadap sesama manusia atau terhadap semesta.
Rumah mereka pun sederhana. Hanya potongan kayu yang diikat satu sama lain menggunakan kulit kayu. Beratapkan daun kelapa dan berlantaikan tikar dari kayu. Mereka memasak menggunakan kayu bakar dan minyak sayur. Tak ada hiasan menempel di dinding rumah mereka. Mungkin God Bless sedang berada disini saat menciptakan lagu "Rumah Kita". Dimana hanya bilik bambu yang menjadi tempat tinggal kita, tanpa hiasan dan tanpa lukisan.
Pagi-pagi perempuan Baduy pergi ke ladang, anak-anak bayi berusia 1 tahunpun sudah mulai diajar berjalan kaki tanpa alas ke ladang. Penghasilan utama mereka sebenernya bukan dari ladang, kalau hasil panen berlebihan baru mereka jual seperti buah aren, pisang, ubi, singkong dan madu (Madu Baduy ajib bener, jangan sampe ga beli ya kalo kesana). Banyak perempuan juga menjual kerajinan dan kain tenun , bagi para pria dan anak laki-laki bonus jadi porter dan guide juga cukup lumayan.
Sistem pertaniannya dengan padi gogo, alurnya juga ladang berpindah. Sekitar 2-5 tahun mereka harus meninggalkan ladang agar dihutankan kembali. Sungguh-sungguh komunitas yang sangat konsisten dengan tradisinya.
Orang baduy hidup dengan aturan yang cukup kuat. Mereka sangat kuat memegang tradisi nenek moyang. Mulai dari lahir hingga mati, semua sudah ada aturan, dengan kata lain segala sesuatunya bukan pilihan kita. Bukan karena mereka tidak berhak memiliki pilihan, tetapi memang pilihan mereka untuk diatur. Jika tidak mau diatur, konsekwensinya akan dikeluarkan menjadi orang baduy luar. Dan itu -buat orang Baduy Dalam- sangat menyakitkan menyakitkan buat mereka.
“kami tidak boleh pakai alas kaki, tidak boleh naik kendaraan, tidak boleh pakai piring dan gelas modern, tidak boleh ambil air pakai ember, tidak boleh mandi dengan sabun dan shampoo kimia, tidak boleh juga bersentuhan dengan teknologi,” kata Sapri.
Semula pria yang sudah pernah jalan kaki ke Bekasi dalam waktu tiga hari ini tidak banyak bicara, namun setelah kami selalu mengajaknya ngobrol, nampaknya dia mulai terbiasa dengan banyaknya pertanyaan kami. Apalagi grup kami ada Acong 1 dan Acong 2 (sebut saja demikian) yang sepanjang 4 jam ga pernah berhenti berbicara.
“Setiap orang baduy, ketika bayi jodoh mereka sudah ditetapkan. Ketika usianya sudah mencapai lebih dari 12 tahun, mereka mulai dipersiapkan menuju pernikahan”, lanjutnya.
Karena jumlah penduduk suku tersebut tidak banyak, mereka memperbolehkan pernikahan antar sepupu yang disebut Misan, yang tidak diperbolehkan hanya menikah dengan saudara sekandung. Ketika sudah menikah, orang tua wajib memberikan minimal satu leuit atau lumbung padi. Syaratnya pun mudah, sang pria cuma disuruh bekerja di ladang sang keluarga wanita dan begitu pula sebaliknya. Yang kedua adalah sang pria harus sudah bekerja dan mempunyai penghasilan sendiri.
Satu lagi, jangan coba coba meminum air campuran daun kastulang yang memberi efek menguatkan stamina dan menyehatkan tubuh ketika bertamu ke Baduy dalam. Rasa airnya mirip campuran cincau dan madu. Ketagihan ga ditanggung.
** (keluar dari wilayah tanpa teknologi) ***
Salah satu spot menarik di Baduy adalah jembatan akar dan jembatan gantung. Jembatan akar yaitu sebuah jembatan yang dililit dan diperkuat oleh akar. Sedangkan gantung itu ya jembatan yang digantung *dikeplak*. Bahkan dalam membangun jembatan pun masyarakat Baduy punya aturan sendiri, yaitu pengerjaan jembatan harus selesai dalam sehari. Jika sehari ga selesai maka jembatan akan dibongkar dan dibangun lagi keesokan harinya.
Buat
sampai ke jembatan akar kita harus sedikit jauh memutar
melewati tebing dan jalanan yang lagi lagi mendaki dan menurun. Dengan tambahan
tebing dan jurang di kanan dan kiri.
Nah
kabar buruknya adalah untuk mencapai Baduy Dalam kita harus berjalan sekitar 5
jam dengan kontur bumi yang naik turun. Maksud gw naik turun disini adalah
beneran mendaki dan menurunin bukit. Di baduy Dalam kita gabisa hidup seperti di
kota dan gaboleh menggunakan listrik.
Untuk buang air aja kita harus jalan sekitar 500m menyebrangi sungai untuk mendapat sumber air yang mengalir. Kalo siang sih ga masalah, yang jadi masalah adalah ketika lo mau berak tengah malem dan gada temen yang mau nganterin. Siap siap diketawain yang di atas pohon.
Jikasemua rintangan itu belum menciutkan nyali kalian, berdoalah agar disana ujan saat perjalanan ke Baduy Dalam. Kombinasi trek tanah, mendaki, menurun dan hujan adalah formasi sempurna untuk enurunkan berat badan. Seperti yang temen gw Lestya Juniata alamin. Wanita setengah kurus cenderunggendut gemuk ini berhasil membawa ransel berat menembus jalur
hujan sepanjang 12km. Tepuk tangan buat dia.
Untuk buang air aja kita harus jalan sekitar 500m menyebrangi sungai untuk mendapat sumber air yang mengalir. Kalo siang sih ga masalah, yang jadi masalah adalah ketika lo mau berak tengah malem dan gada temen yang mau nganterin. Siap siap diketawain yang di atas pohon.
Jikasemua rintangan itu belum menciutkan nyali kalian, berdoalah agar disana ujan saat perjalanan ke Baduy Dalam. Kombinasi trek tanah, mendaki, menurun dan hujan adalah formasi sempurna untuk enurunkan berat badan. Seperti yang temen gw Lestya Juniata alamin. Wanita setengah kurus cenderung
Atau
temen gw satu lagi, sebut saja namanya Aing. Karena dia dengan pinternya bawa
baju dan celana panjang cuma satu -itupun Jeans- dan huhujana akhirnya saat
pulang dia harus berlari kayak maling ayam ke depan rombongan dan mencari spot
panas untuk menjemur kaos dan celananya sambil menunggu rombongan terakhir
lewat.
Karena
kita mengunjungi jembatan akar saat pulang maka kita akan melewati peradaban
sebelum mencapai Ciboleger -desa terakhir sebelum Baduy Luar- yang berarti ada
listrik, sinyal hape dan kendaraan. Dengan konsekwensi harus berhadapan dengan
terik matahari karena jalanan aspal dan ga ada pohon rindang.
Positipnya
kita bisa hitchhiking ke mobil yang lewat. Dan mobil yang beruntung kita naikin
adalah sebuah truk kayu. Yippie..Jadilah tim depan nebeng truk kayu sampe
ciboleger.
Ada
yang bilang bahwa kenyamanan bagaikan jalanan datar, tapi hidup memang naik dan
turun. Maka bersahabatlah dengan jalanan naik dan turun. Seringkali kita
menjalani hidup dengan tergesa-gesa sehingga melewatkan bagian-bagian yang
menyenangkan dari sebuah perjalanan. Sejenak kita perlu berdiam diri, menikmati
apa yang kita lihat didepan mata, mendengarkan suara dan nyanyian alam, mencium
bebauan tumbuhan, dan menyentuh segala sesuatu yang baru.
Setiap kaki yang diayun dan bergerak maju berarti meninggalkan masa lalu. Hempaskan langkah sebelumnya. Gantilah dengan jejak baru. Kebahagiaan baru menunggu dalam setiap nafas dan yakinlah bahwa akan ada kekuatan baru untuk mengisi langkah-langkah berikutnya.
Setiap kaki yang diayun dan bergerak maju berarti meninggalkan masa lalu. Hempaskan langkah sebelumnya. Gantilah dengan jejak baru. Kebahagiaan baru menunggu dalam setiap nafas dan yakinlah bahwa akan ada kekuatan baru untuk mengisi langkah-langkah berikutnya.
Perjalanan seperti ini mengantarkan gw pada pengalaman baru. Mungkin dulu di kepulauan Togean, Celebes pernah mengalami pengalaman yang sama. Namun disana didesa terpencil sekalipun, gelombang teknologi dan modernitas tak bisa dibendung.
Sedangkan
disini, baduy dalam, yang hanya berjarak beberapa ratus kilo meter dari
Metropolitan Jakarta, mereka masih memegang teguh tradisi dan filosofi hidup
yang sejatinya menurut kacamata mereka.
Masih ingat lagunya Katon Bagaskara berjudul negeri di Awan?? Sebuah tempat dimana kedamaian menjadi istana. Memang bukan mengacu pada tempatnya, tetapi dimanapun manusia memilih untuk damai, maka disitulah diraih kedamaian.
Ayo terus berjalan kawan, menyusuri bumi dan menemukan keajaiban-keajaiban kecilnya, karena Tuhan menunjukkan banyak keindahan yang tak Ia tunjukkan pada mereka yang menghabiskan umurnya didapur dan tempat tidur.
NB : Ditengah terjangan berbagai kabar buruk di negeri ini, gw sangat ingin memberikan sebuah cerita tentang indahnya negeri kita, cerita yang bisa membuat kalian (minimal) iri dan tersenyum. Cerita yang bisa membuat kita berkata : aku cinta Indonesia.. :)
Trip now, Think later..
Masih ingat lagunya Katon Bagaskara berjudul negeri di Awan?? Sebuah tempat dimana kedamaian menjadi istana. Memang bukan mengacu pada tempatnya, tetapi dimanapun manusia memilih untuk damai, maka disitulah diraih kedamaian.
Ayo terus berjalan kawan, menyusuri bumi dan menemukan keajaiban-keajaiban kecilnya, karena Tuhan menunjukkan banyak keindahan yang tak Ia tunjukkan pada mereka yang menghabiskan umurnya didapur dan tempat tidur.
NB : Ditengah terjangan berbagai kabar buruk di negeri ini, gw sangat ingin memberikan sebuah cerita tentang indahnya negeri kita, cerita yang bisa membuat kalian (minimal) iri dan tersenyum. Cerita yang bisa membuat kita berkata : aku cinta Indonesia.. :)
Trip now, Think later..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar