Hari itu, sabtu 15
Juni 2013, kaki kami berayun selangkah demi selangkah. Sekali tapak,kaki kanan
maju berganti kaki kiri. Lima jam berlalu, nafas kami mulai tersendat-sendat,
gelap mulai meliputi desa Cibeo. Anak-anak dan para pemuda tanpa beralaskan kaki
pulang dari ladang.
Setelah 1,5 kilo berjalan dari diperbatasan baduy
luar-dalam, kami mulai melihat sederetan lumbung-lumbung padi dengan bentuk dan
ukuran yang sama. Nampak beberapa Saung diujung ladang tempat istirahat
petani. Suara jangkrik mulai terdengar. Riak air melantunkan suara alam.
Pepohonan tinggi yang hijau terang itu mulai menggelap.
Sinar mentari
mulai bersembunyi, berganti dengan gemuruh suara petir menandakan sang hujan
akan turun bercumbu dengan bumi. Jalanan berbatu yang disusun rapi mengantarkan
kami memasuki perkampungan. Beberapa ekor ayam menyambut kami, yak disini ga ada
sapi, kambing maupun kerbau, karena ternak berkaki empat tidak diperbolehkan
bagi suku baduy.
Pakaian penduduknya sederhana, hanya ada hitam atau
putih. Seperti kehidupan mereka semua hanya tentang hitam dan putih. Tidak
seperti kita yang penuh warna warni. Mereka hidup dalam kepolosan dan
kesederhanaan.
“Kenapa pakaian harus berwarna hitam atau putih?”,
Tanya ke Sapri.
“Karena memang begitu aturannya”,
ujarnya.
Baydewai siapa tuh Sapri?? Kami memanggilnya Sapri. Pemandu
sekaligus tuan rumah kami. Pria 22 tahun dengan wajah dan perawakannya yang
lebih muda dari usianya. Malah mirip artis menurut temen teman gw. Nama aslinya
pun Sapri, (menurut lo??) Kakinya pendek, keras, melebar, betisnya besar dan
berotot, mirip bangsa Hobbit dalam Lord of the Ring. Belum nonton?? Kesian deh
lo. Rambutnya pendek, kepala diikat kain putih. Kulitnya sawo matang, ramah,
banyak bicara dan gaol abisss!!! Doi tau starbak, EX dan beberapa tempat yang
bahkan gw sebagai warga Jakarta pun ga pernah masukin. Bahkan ungkapan khas
ibukota seperti 'mau tau banget' dan ' kepo' pun dia tau. G4h0L banget ga
sih.
|
Ini Sapri..itu adknya
Sapri.. |
Tiga puluh enam jam gw berhasil menikmati detik
demi detik, menit dan jam dalam keterkesimaan yang membuat gw ga tergoda
memainkan hape. Menikmati waktu dengan mengobrol dan melihat alam dan
kesederhanaan manusia. Gw belajar bahwa kita ga bakal mati hanya karena ga ada
listrik, kendaraan, dan teknologi. Dan kita ga berarti kagak bahagia tanpa
wanita handphone, facebook, twitter dan alat kapitalis
lainnya.
*** (memasuki waktu dilarang foto) ***
Pagi.. awal dari
sebagian besar makhluk hidup diseluruh penjuru dunia … Hari itu gw seperti
memasuki sebuah kapsul waktu yang menembus beberapa abad lampau. Sama halnya
disini, dibawah cahaya bulan purnama yang ditutupi serpihan awan hitam di antara
jejeran rumah berbambu, kami menghirup aroma tumbuhan pagi disekitar kampung
yang rumahnya saling berdempetan.
Sebuah desa bernama Cibeo, populasi
(sekitar) 450 jiwa termasuk anak-anak dan mayoritas anaknya cowok. Desa lainnya
yang termasuk dalam Baduy Dalam yaitu Cikertawana dan Cikeusik. Mereka bermukim
tepat di kaki pegunungan Kendeng, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten.
Pegunungan ini merupakan satu kesatuan yang berkepala di Ujung Kulon dan berekor
di Jawa timur. Berada diketinggian 500 mdpl, desa ini cukup dingin dan sejuk.
Sedingin hatimu saat itu. *uhuk*
Pagi itu, anak anak baduy mulai
berkumpul di sebrang rumah tempat gw nginep. Sekumpulan bocah usia 4-8 tahun
berkumpul mengelilingi siduru. Semacam panci yang dimasak diatas tungku
kayu bakaran untuk menghangatkan badan. Berikat kepala warna putih, bersarung
gelap garis vertikal, dan berbaju putih. Mereka asyik bersenda gurau, wajahnya
hampir mirip semua, putih, bulat, pesek, persis seperti orang Baduy
Dalam.
Mereka saling berceloteh dan sesekali melihat kami dengan heran,
kemudian tertawa sebentar. Beberapa bocah lainnya duduk berdekatan, mereka
saling diam, tidak bicara, hanya memperhatikan orang dewasa bicara atau
tersenyum malu-malu melihat kami “orang kota” yang mungkin aneh bagi
mereka. Gw cuman terkesima mengamati mereka. Perhatiin deh, ga ada wajah lelah
mereka, ga ada wajah kecewa, ga ada marah atau bahagia yang berlebih. Ga seperti
orang kota yang pada jam jam segitu pada hari kerja seakan lupa bahwa kita
pernah upacara dibawah bendera yang sama.
Perjalanan menuju Baduy Luar
sampai ke Baduy Dalam menempuh jarak 12km. Tapi jangan anggap tanahnya
flat dan beraspal, kami harus melawati kurang lebih 7 bukit dalam waktu
4-5 jam. Kalau orang baduy sendiri cukup 1,5-2 jam saja. Treknya ga pernah rata.
Selalu naik turun seperti kehidupan.
Oiya, sebutan “baduy” memang
diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat ini. Dulu para peneliti
Belanda menyamakan istilah Arab Badawi yang hidupnya berpindah-pindah serta
karena terdapat sungai dan gunung Baduy disekitar situ. Mereka sendiri lebih
suka dipanggil “urang Kanekes” atau “urang Cibeo”, sesuai nama kampung
mereka.
Mungkin banyak orang menyayangkan kehidupan orang Baduy yang
tidak mengijinkan anak anak mereka sekolah. Terlepas dari itu semua, menurut gw
hidup mereka jauh lebih layak dibanding orang orang terlantar dikota. Disini
mereka sangat diperlengkapi oleh alam. Air, tumbuhan, hewan, ladang, rumah bambu
dan segalanya tercukupi. Bahkan kebahagiaan pun didapatkan dengan hidup tenang
di tempat pengasingan seperti itu. Bukankah sekolah mereka dengan belajar dari
sumber ilmu yang sesungguhnya yaitu alam dan segala isinya. Bukan hanya dari
ruang kecil berukuran 7x7 meter lengkap dengan kursi, meja dan papan
tulisnya.
Satu hal yang melekat otak gw ketika pertama kali adalah
menanyakan hal mengapa orang baduy ga mau sekolah?? Kenapa sekolah itu mahal??
kenapa BBM naik?? KENAPA???
Dan jawaban si Sapri atas pertanyaan pertama
gw sangat menusuk hati nurani gw.
“Karena kalau orang jadi pintar
bisa berbuat jahat”, jawab Sapri. Alasan itu pulalah yang membuat Sapri
bahagia di tengah ke-anti modern-annya. Bahwa segala teknologi dan kepintaran
bisa menggoda manusia untuk merasa berkuasa. Baik terhadap sesama manusia atau
terhadap semesta.
Rumah mereka pun sederhana. Hanya potongan kayu yang
diikat satu sama lain menggunakan kulit kayu. Beratapkan daun kelapa dan
berlantaikan tikar dari kayu. Mereka memasak menggunakan kayu bakar dan minyak
sayur. Tak ada hiasan menempel di dinding rumah mereka. Mungkin God Bless sedang
berada disini saat menciptakan lagu "Rumah Kita". Dimana hanya bilik bambu yang
menjadi tempat tinggal kita, tanpa hiasan dan tanpa lukisan.
Pagi-pagi
perempuan Baduy pergi ke ladang, anak-anak bayi berusia 1 tahunpun sudah mulai
diajar berjalan kaki tanpa alas ke ladang. Penghasilan utama mereka sebenernya
bukan dari ladang, kalau hasil panen berlebihan baru mereka jual seperti buah
aren, pisang, ubi, singkong dan madu (Madu Baduy ajib bener, jangan sampe ga
beli ya kalo kesana). Banyak perempuan juga menjual kerajinan dan kain tenun ,
bagi para pria dan anak laki-laki bonus jadi porter dan guide juga cukup
lumayan.
Sistem pertaniannya dengan padi gogo, alurnya juga ladang
berpindah. Sekitar 2-5 tahun mereka harus meninggalkan ladang agar dihutankan
kembali. Sungguh-sungguh komunitas yang sangat konsisten dengan
tradisinya.
Orang baduy hidup dengan aturan yang cukup kuat. Mereka
sangat kuat memegang tradisi nenek moyang. Mulai dari lahir hingga mati, semua
sudah ada aturan, dengan kata lain segala sesuatunya bukan pilihan kita. Bukan
karena mereka tidak berhak memiliki pilihan, tetapi memang pilihan mereka untuk
diatur. Jika tidak mau diatur, konsekwensinya akan dikeluarkan menjadi orang
baduy luar. Dan itu -buat orang Baduy Dalam- sangat menyakitkan menyakitkan buat
mereka.
“kami tidak boleh pakai alas kaki, tidak boleh naik kendaraan,
tidak boleh pakai piring dan gelas modern, tidak boleh ambil air pakai ember,
tidak boleh mandi dengan sabun dan shampoo kimia, tidak boleh juga bersentuhan
dengan teknologi,” kata Sapri.
Semula pria yang sudah pernah jalan
kaki ke Bekasi dalam waktu tiga hari ini tidak banyak bicara, namun setelah kami
selalu mengajaknya ngobrol, nampaknya dia mulai terbiasa dengan banyaknya
pertanyaan kami. Apalagi grup kami ada Acong 1 dan Acong 2 (sebut saja
demikian) yang sepanjang 4 jam ga pernah berhenti berbicara.
“Setiap
orang baduy, ketika bayi jodoh mereka sudah ditetapkan. Ketika usianya sudah
mencapai lebih dari 12 tahun, mereka mulai dipersiapkan menuju pernikahan”,
lanjutnya.
Karena jumlah penduduk suku tersebut tidak banyak, mereka
memperbolehkan pernikahan antar sepupu yang disebut Misan, yang tidak
diperbolehkan hanya menikah dengan saudara sekandung. Ketika sudah menikah,
orang tua wajib memberikan minimal satu leuit atau lumbung padi.
Syaratnya pun mudah, sang pria cuma disuruh bekerja di ladang sang keluarga
wanita dan begitu pula sebaliknya. Yang kedua adalah sang pria harus sudah
bekerja dan mempunyai penghasilan sendiri.
Satu lagi, jangan coba
coba meminum air campuran daun kastulang yang memberi efek menguatkan stamina
dan menyehatkan tubuh ketika bertamu ke Baduy dalam. Rasa airnya mirip campuran
cincau dan madu. Ketagihan ga ditanggung.
** (keluar dari wilayah tanpa
teknologi) ***
Salah satu spot menarik di Baduy adalah jembatan akar dan
jembatan gantung. Jembatan akar yaitu sebuah jembatan yang dililit dan diperkuat
oleh akar. Sedangkan gantung itu ya jembatan yang digantung *dikeplak*. Bahkan
dalam membangun jembatan pun masyarakat Baduy punya aturan sendiri, yaitu
pengerjaan jembatan harus selesai dalam sehari. Jika sehari ga selesai maka
jembatan akan dibongkar dan dibangun lagi keesokan harinya.
Buat
sampai ke jembatan akar kita harus sedikit jauh memutar
melewati tebing dan jalanan yang lagi lagi mendaki dan menurun. Dengan tambahan
tebing dan jurang di kanan dan kiri.
|
*UHUK!!*
|
Nah
kabar buruknya adalah untuk mencapai Baduy Dalam kita harus berjalan sekitar 5
jam dengan kontur bumi yang naik turun. Maksud gw naik turun disini adalah
beneran mendaki dan menurunin bukit. Di baduy Dalam kita gabisa hidup seperti di
kota dan gaboleh menggunakan listrik.
Untuk buang air aja kita harus
jalan sekitar 500m menyebrangi sungai untuk mendapat sumber air yang mengalir.
Kalo siang sih ga masalah, yang jadi masalah adalah ketika lo mau berak tengah
malem dan gada temen yang mau nganterin. Siap siap diketawain yang di atas
pohon.
Jikasemua rintangan itu belum menciutkan nyali kalian, berdoalah
agar disana ujan saat perjalanan ke Baduy Dalam. Kombinasi trek tanah, mendaki,
menurun dan hujan adalah formasi sempurna untuk enurunkan berat badan. Seperti
yang temen gw Lestya Juniata alamin. Wanita setengah kurus cenderung
gendut gemuk ini berhasil membawa ransel berat menembus jalur
hujan sepanjang 12km. Tepuk tangan buat dia.
|
Tanjakan + hujan =
cakeepp!! |
Atau
temen gw satu lagi, sebut saja namanya Aing. Karena dia dengan pinternya bawa
baju dan celana panjang cuma satu -itupun Jeans- dan huhujana akhirnya saat
pulang dia harus berlari kayak maling ayam ke depan rombongan dan mencari spot
panas untuk menjemur kaos dan celananya sambil menunggu rombongan terakhir
lewat.
|
Lapak Aing, kumaha
Aing.. |
Karena
kita mengunjungi jembatan akar saat pulang maka kita akan melewati peradaban
sebelum mencapai Ciboleger -desa terakhir sebelum Baduy Luar- yang berarti ada
listrik, sinyal hape dan kendaraan. Dengan konsekwensi harus berhadapan dengan
terik matahari karena jalanan aspal dan ga ada pohon rindang.
Positipnya
kita bisa hitchhiking ke mobil yang lewat. Dan mobil yang beruntung kita naikin
adalah sebuah truk kayu. Yippie..Jadilah tim depan nebeng truk kayu sampe
ciboleger.
|
Asli ini panas..ga
bo'ong!! |
|
Up!!
Up!! |
|
Lucky
us.. |
|
Akhirnya...
|
Ada
yang bilang bahwa kenyamanan bagaikan jalanan datar, tapi hidup memang naik dan
turun. Maka bersahabatlah dengan jalanan naik dan turun. Seringkali kita
menjalani hidup dengan tergesa-gesa sehingga melewatkan bagian-bagian yang
menyenangkan dari sebuah perjalanan. Sejenak kita perlu berdiam diri, menikmati
apa yang kita lihat didepan mata, mendengarkan suara dan nyanyian alam, mencium
bebauan tumbuhan, dan menyentuh segala sesuatu yang baru.
Setiap kaki
yang diayun dan bergerak maju berarti meninggalkan masa lalu. Hempaskan langkah
sebelumnya. Gantilah dengan jejak baru. Kebahagiaan baru menunggu dalam setiap
nafas dan yakinlah bahwa akan ada kekuatan baru untuk mengisi langkah-langkah
berikutnya.
Perjalanan seperti ini mengantarkan gw pada pengalaman
baru. Mungkin dulu di
kepulauan
Togean, Celebes pernah mengalami pengalaman yang sama. Namun disana didesa
terpencil sekalipun, gelombang teknologi dan modernitas tak bisa dibendung.
Sedangkan
disini, baduy dalam, yang hanya berjarak beberapa ratus kilo meter dari
Metropolitan Jakarta, mereka masih memegang teguh tradisi dan filosofi hidup
yang sejatinya menurut kacamata mereka.
Masih ingat lagunya Katon
Bagaskara berjudul negeri di Awan?? Sebuah tempat dimana kedamaian menjadi
istana. Memang bukan mengacu pada tempatnya, tetapi dimanapun manusia memilih
untuk damai, maka disitulah diraih kedamaian.
Ayo terus
berjalan kawan, menyusuri bumi dan menemukan keajaiban-keajaiban kecilnya,
karena Tuhan menunjukkan banyak keindahan yang tak Ia tunjukkan pada mereka yang
menghabiskan umurnya didapur dan tempat tidur.
NB : Ditengah terjangan
berbagai kabar buruk di negeri ini, gw sangat ingin memberikan sebuah cerita
tentang indahnya negeri kita, cerita yang bisa membuat kalian (minimal) iri dan
tersenyum. Cerita yang bisa membuat kita berkata : aku cinta Indonesia..
:)
Trip now, Think
later..